Rahasia Suskes Regenerasi Timnas Sepakbola Jepang
Lompatan prestasi sepak bola Jepang dalam kurun 20 tahun ini
luar biasa. Jepang yang tidak lolos putaran final Piala Asia 1984, menjadi
juara Piala Asia pada 2000, 2004, dan 2011. Pada ajang Piala Dunia, Jepang tak
pernah lolos ke putaran final sejak 1930 hingga 1994. Baru tahun 1998 ke
putaran final, Samurai Biru mampu menembus 16 besar dua kali (2002 dan 2010).
Tahun ini, Jepang menjadi negara pertama yang lolos ke putaran final Piala
Dunia di Brasil. Meski tersisih pada Piala Konfederasi Juni lalu, Shinji Kagawa
dkk tampil menghibur hingga bisa menyulitkan dua raksasa sepak bola, Brasil dan
Italia.
Transformasi sepak bola Jepang justru kebalikan dengan
Indonesia. Titik persilangan, di mana kurva prestasi Jepang menanjak, sementara
Indonesia menukik, berada pada akhir 1980-an dan awal 1990-an.
Pada tahun- tahun itu, Jepang masih kerap menimba pengalaman
pada turnamen bergengsi di Medan, Piala Marah Halim. Betapa bangganya Jepang
ketika pada 1988 menjadi juara Piala Marah Halim hingga prestasi ini khusus
dicatatkan di buku sejarah JFA (Japan Football Association). Sayang, turnamen
itu kini sudah terkubur dalam-dalam di Indonesia.
Pada kualifikasi Piala Dunia 1990, Indonesia pernah menahan
imbang Jepang 0-0 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Mei 1989. Saat itu,
Indonesia diperkuat nama-nama seperti Zulkarnain Lubis, Jaya Hartono, Robby
Darwis, dan Ricky Yacob. Di kubu Jepang, ada legenda hidup Masami Ihara dan
Tetsuji Hashiratani.
Berikutnya pada kualifikasi Olimpiade 1992, Indonesia yang
mayoritas diperkuat pemain PSSI Garuda II seperti Rochy Putiray, Agung
Setyabudi, dan Nil Maizar kalah tipis dari Jepang 1-2 pada laga di Stadion
Tambaksari, Surabaya, Juni 1991. Ketika itu ada nama Masaki Sawaanobori dan
Hiroshi Nanami di tim Jepang.
Setelah awal dekade 1990-an itulah, sepak bola Jepang
melesat seiring pembentukan J-League. Sebaliknya, prestasi Indonesia merosot
hingga ke palung paling dasar. Saat ini Jepang ada pada posisi 37 peringkat
FIFA sementara Indonesia di tangga 168.
Fenomena ini memprihatinkan mengingat ketika Jepang terpuruk
pada era 1960-an, itulah saat Indonesia disebut sebagai macan Asia. Rekor
pertemuan Indonesia-Jepang ikut menjadi bukti. Pada 1972, Ronny Pasla, Basri,
Iswadi Idris, Abdul Kadir dkk menang lawan Jepang 1-0. Pada 1961, Indonesia
juga menang lawan Jepang 2-0. Saat itu, timnas Jepang yang takluk oleh Frans Jo
dkk diperkuat oleh Saburo Kawabuchi, kemudian dikenal sebagai arsitek
kebangkitan Samurai Biru.
Saburo Kawabuchi, kini 76 tahun, adalah orang paling penting
di balik kisah sukses Jepang. Kawabuchi adalah Presiden JFA kurun 2002-2008.
Dia adalah orang yang menginisiasi J-League, kompetisi paling elit di Asia yang
dulunya belajar ke Galatama.
J-League dimulai pada 1993 ketika sepak bola kalah populer
dari bisbol dan golf di Jepang. Dari semula amatiran, klub J-League dijalankan
dengan manajemen profesional. Bintang besar dan pelatih kaliber dunia seperti
Zico, Dunga, Dragan Stojkovic, maupun Arsene Wenger didatangkan. Perlahan namun
pasti sepak bola melewati popularitas bisbol.
20 tahun kemudian, J-League bukan lagi importir melainkan
eksportir pemain top dunia. Ada Keisuke Honda di CSKA Moskow, Yuto Nagatomo
(Inter Milan), Shinji Okazaki (Stuttgart), Maya Yoshida (Southampton), Shinji
Kagawa (MU), dll. Tercatat ada sembilan pemain Jepang di Bundesliga dan lima
pemain di Eredivisie.
Dari kurun masa sepak bola bukan olahraga paling digemari,
Jepang berbenah menjadi raksasa Asia dan diperhitungkan dunia. Banyak menjadi
pertanyaan, bagaimana Jepang bisa terus melahirkan bibit-bibit pesepak bola
bagus? Kuncinya, Jepang memiliki wadah penggodokan bagus dalam rupa J-League.
Tetapi, soal antusiasme, jangan dilupakan peran komik Kapten Tsubasa. Dengan
alasan membantu mempromosikan sepak bola, JFA ikut mendukung habis habisan
Kapten Tsubasa. Banyak pesepak bola dunia bermain bola karena terinspirasi
komik Kapten Tsubasa. Sebut misalnnya Fernando Torres, Hidetoshi Nakata, dan
Alessandro del Piero. Lebih banyak lagi anak-anak Jepang yang terinspirasi
kartun ini.
Jepang tak pernah kurang akal untuk menumbuhkan kecintaan
pada sepak bola. Program besar-besaran lain adalah Proyek Kokoro (Proyek penuh
Hati) yang diluncurkan JFA pada 2007. JFA sadar tekanan hidup anak-anak dan
remaja di Jepang makin tinggi. Tingkat bunuh diri kalangan remaja juga sangat
besar. Proyek ini dibikin agar anak-anak dan remaja tumbuh rasa cintanya pada
sepak bola. Dengan begitu mereka mau bermain dan mewujudkan mimpi menjadi
pemain sepak bola.
Proyek ini dijalankan dengan mengirim ratusan pemain sepak
bola profesional ke ribuan kelas sekolah di seluruh Jepang. Tujuannya
mengenalkan dan mengajak anak-anak mencintai sepak bola. 1.400 pemain
profesional dimotori Masami Ihara masuk ke kelas-kelas dan mengajak anak-anak
mewujudkan mimpinya melalui sepak bola. "Kami ingin menjangkau sebanyak
mungkin anak. Tak peduli butuh waktu lama," kata pemimpin proyek Hideto Teshima.
Saburo Kawabuchi menekankan, proyek ini pada intinya
menggugah sisi kemanusian anak-anak tentang pentingnya sosialisasi dan kerja
sama, elemen penting sepak bola. Jika proyek ini berhasil, makin banyak
anak-anak menekuni sepak bola dengan kesiapan mental dan skill di lapangan.
Dengan mengawali pada 1993, Kawabuchi sudah menetapkan target, pada 2050,
Jepang bakal juara Piala Dunia!
Di sepak bola Indonesia tidak ada yang mau membenahi
keterpurukan dari sisi elementer, yaitu anak-anak. Lihat lapangan sepak bola
yang dimana-mana mulai habis. Anak-anak kesulitan arena bermain. Kalaupun ada
lapangan bagus, bayarnya mahal. Budaya bermain dan sosialisasi beralih ke
budaya bermain lewat mesin yang cenderung individualis.
Di sekolah dasar hingga sekolah menengah negeri di seantero
nusantara, jarang ditemui lapangan bagus. Rata-rata hanya sekolah mahal yang
punya lapangan mulus.
Salah satu daya tarik sepak bola adalah menyenangkan.
Tetapi, fasilitas termudah untuk memupuk kesenangan tidak disediakan.
Belum pernah ada gerakan masif untuk mengajak anak-anak dan
remaja mencintai dan menekuni sepak bola. Semuanya dibiarkan tumbuh apa adanya.
Syukur-syukur bisa nemu pemain bagus. Tugiyo dan Andik Vermansyah misalnya,
bakatnya ditemukan secara tidak sengaja.
Itu yang menjelaskan, mengapa sepak bola kita tidak
terbangun dengan struktur berjenjang yang rapi dari usia 8 tahun hingga 21
tahun. Talenta rata-rata ditemukan baru pada usia remaja. Dengan dasar
terlambat, sulit mengharapkan pondasi yang kokoh.
Keadaan makin parah karena tidak ada kepemimpinan olahraga
yang jangankan mengarahkan, memikirkan saja sepertinya tidak pernah.
Semoga artikel Rahasia Suskes Regenerasi Timnas Sepakbola Jepang bermanfaat bagi Anda. Jika kamu suka dengan artikel Rahasia Suskes Regenerasi Timnas Sepakbola Jepang ini, like dan bagikan ketemanmu.
Posting Komentar