Minggu, 08 September 2013

Rahasia Suskes Regenerasi Timnas Sepakbola Jepang



Lompatan prestasi sepak bola Jepang dalam kurun 20 tahun ini luar biasa. Jepang yang tidak lolos putaran final Piala Asia 1984, menjadi juara Piala Asia pada 2000, 2004, dan 2011. Pada ajang Piala Dunia, Jepang tak pernah lolos ke putaran final sejak 1930 hingga 1994. Baru tahun 1998 ke putaran final, Samurai Biru mampu menembus 16 besar dua kali (2002 dan 2010). Tahun ini, Jepang menjadi negara pertama yang lolos ke putaran final Piala Dunia di Brasil. Meski tersisih pada Piala Konfederasi Juni lalu, Shinji Kagawa dkk tampil menghibur hingga bisa menyulitkan dua raksasa sepak bola, Brasil dan Italia.



Transformasi sepak bola Jepang justru kebalikan dengan Indonesia. Titik persilangan, di mana kurva prestasi Jepang menanjak, sementara Indonesia menukik, berada pada akhir 1980-an dan awal 1990-an.

Pada tahun- tahun itu, Jepang masih kerap menimba pengalaman pada turnamen bergengsi di Medan, Piala Marah Halim. Betapa bangganya Jepang ketika pada 1988 menjadi juara Piala Marah Halim hingga prestasi ini khusus dicatatkan di buku sejarah JFA (Japan Football Association). Sayang, turnamen itu kini sudah terkubur dalam-dalam di Indonesia.

Pada kualifikasi Piala Dunia 1990, Indonesia pernah menahan imbang Jepang 0-0 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Mei 1989. Saat itu, Indonesia diperkuat nama-nama seperti Zulkarnain Lubis, Jaya Hartono, Robby Darwis, dan Ricky Yacob. Di kubu Jepang, ada legenda hidup Masami Ihara dan Tetsuji Hashiratani.

Berikutnya pada kualifikasi Olimpiade 1992, Indonesia yang mayoritas diperkuat pemain PSSI Garuda II seperti Rochy Putiray, Agung Setyabudi, dan Nil Maizar kalah tipis dari Jepang 1-2 pada laga di Stadion Tambaksari, Surabaya, Juni 1991. Ketika itu ada nama Masaki Sawaanobori dan Hiroshi Nanami di tim Jepang.

Setelah awal dekade 1990-an itulah, sepak bola Jepang melesat seiring pembentukan J-League. Sebaliknya, prestasi Indonesia merosot hingga ke palung paling dasar. Saat ini Jepang ada pada posisi 37 peringkat FIFA sementara Indonesia di tangga 168.

Fenomena ini memprihatinkan mengingat ketika Jepang terpuruk pada era 1960-an, itulah saat Indonesia disebut sebagai macan Asia. Rekor pertemuan Indonesia-Jepang ikut menjadi bukti. Pada 1972, Ronny Pasla, Basri, Iswadi Idris, Abdul Kadir dkk menang lawan Jepang 1-0. Pada 1961, Indonesia juga menang lawan Jepang 2-0. Saat itu, timnas Jepang yang takluk oleh Frans Jo dkk diperkuat oleh Saburo Kawabuchi, kemudian dikenal sebagai arsitek kebangkitan Samurai Biru.

Saburo Kawabuchi, kini 76 tahun, adalah orang paling penting di balik kisah sukses Jepang. Kawabuchi adalah Presiden JFA kurun 2002-2008. Dia adalah orang yang menginisiasi J-League, kompetisi paling elit di Asia yang dulunya belajar ke Galatama.

J-League dimulai pada 1993 ketika sepak bola kalah populer dari bisbol dan golf di Jepang. Dari semula amatiran, klub J-League dijalankan dengan manajemen profesional. Bintang besar dan pelatih kaliber dunia seperti Zico, Dunga, Dragan Stojkovic, maupun Arsene Wenger didatangkan. Perlahan namun pasti sepak bola melewati popularitas bisbol.

20 tahun kemudian, J-League bukan lagi importir melainkan eksportir pemain top dunia. Ada Keisuke Honda di CSKA Moskow, Yuto Nagatomo (Inter Milan), Shinji Okazaki (Stuttgart), Maya Yoshida (Southampton), Shinji Kagawa (MU), dll. Tercatat ada sembilan pemain Jepang di Bundesliga dan lima pemain di Eredivisie.

Dari kurun masa sepak bola bukan olahraga paling digemari, Jepang berbenah menjadi raksasa Asia dan diperhitungkan dunia. Banyak menjadi pertanyaan, bagaimana Jepang bisa terus melahirkan bibit-bibit pesepak bola bagus? Kuncinya, Jepang memiliki wadah penggodokan bagus dalam rupa J-League. Tetapi, soal antusiasme, jangan dilupakan peran komik Kapten Tsubasa. Dengan alasan membantu mempromosikan sepak bola, JFA ikut mendukung habis habisan Kapten Tsubasa. Banyak pesepak bola dunia bermain bola karena terinspirasi komik Kapten Tsubasa. Sebut misalnnya Fernando Torres, Hidetoshi Nakata, dan Alessandro del Piero. Lebih banyak lagi anak-anak Jepang yang terinspirasi kartun ini.

Jepang tak pernah kurang akal untuk menumbuhkan kecintaan pada sepak bola. Program besar-besaran lain adalah Proyek Kokoro (Proyek penuh Hati) yang diluncurkan JFA pada 2007. JFA sadar tekanan hidup anak-anak dan remaja di Jepang makin tinggi. Tingkat bunuh diri kalangan remaja juga sangat besar. Proyek ini dibikin agar anak-anak dan remaja tumbuh rasa cintanya pada sepak bola. Dengan begitu mereka mau bermain dan mewujudkan mimpi menjadi pemain sepak bola.

Proyek ini dijalankan dengan mengirim ratusan pemain sepak bola profesional ke ribuan kelas sekolah di seluruh Jepang. Tujuannya mengenalkan dan mengajak anak-anak mencintai sepak bola. 1.400 pemain profesional dimotori Masami Ihara masuk ke kelas-kelas dan mengajak anak-anak mewujudkan mimpinya melalui sepak bola. "Kami ingin menjangkau sebanyak mungkin anak. Tak peduli butuh waktu lama," kata pemimpin proyek Hideto Teshima.

Saburo Kawabuchi menekankan, proyek ini pada intinya menggugah sisi kemanusian anak-anak tentang pentingnya sosialisasi dan kerja sama, elemen penting sepak bola. Jika proyek ini berhasil, makin banyak anak-anak menekuni sepak bola dengan kesiapan mental dan skill di lapangan. Dengan mengawali pada 1993, Kawabuchi sudah menetapkan target, pada 2050, Jepang bakal juara Piala Dunia!
Di sepak bola Indonesia tidak ada yang mau membenahi keterpurukan dari sisi elementer, yaitu anak-anak. Lihat lapangan sepak bola yang dimana-mana mulai habis. Anak-anak kesulitan arena bermain. Kalaupun ada lapangan bagus, bayarnya mahal. Budaya bermain dan sosialisasi beralih ke budaya bermain lewat mesin yang cenderung individualis.

Di sekolah dasar hingga sekolah menengah negeri di seantero nusantara, jarang ditemui lapangan bagus. Rata-rata hanya sekolah mahal yang punya lapangan mulus.
Salah satu daya tarik sepak bola adalah menyenangkan. Tetapi, fasilitas termudah untuk memupuk kesenangan tidak disediakan.

Belum pernah ada gerakan masif untuk mengajak anak-anak dan remaja mencintai dan menekuni sepak bola. Semuanya dibiarkan tumbuh apa adanya. Syukur-syukur bisa nemu pemain bagus. Tugiyo dan Andik Vermansyah misalnya, bakatnya ditemukan secara tidak sengaja.

Itu yang menjelaskan, mengapa sepak bola kita tidak terbangun dengan struktur berjenjang yang rapi dari usia 8 tahun hingga 21 tahun. Talenta rata-rata ditemukan baru pada usia remaja. Dengan dasar terlambat, sulit mengharapkan pondasi yang kokoh.

Keadaan makin parah karena tidak ada kepemimpinan olahraga yang jangankan mengarahkan, memikirkan saja sepertinya tidak pernah.


Semoga artikel Rahasia Suskes Regenerasi Timnas Sepakbola Jepang bermanfaat bagi Anda. Jika kamu suka dengan artikel Rahasia Suskes Regenerasi Timnas Sepakbola Jepang ini, like dan bagikan ketemanmu.

Posting Komentar

KASKASUS.com - All Right Reserved.Powered By Blogger
Template SEO Fendly by JimsonTemplate Edit by : Tutorial Blogspot